Kamis, 08 April 2010

Prasangka



PRASANGKA SOSIAL

Menurut Sears et all, (1985) prasangka sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kwalitas suka dan tidak suka pada obyek yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut. Selanjutnya Kartono, (1981) menguraikan bahwa prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas.
Prasangka sosial menurut Papalia dan Sally, (1985) adalah sikap negatif yang ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut. Lebih lanjut diuraikan bahwa prasangka sosial berasal dari adanya persaingan yang secara berlebihan antar individu atau kelompok. Selain itu proses belajar juga berperan dalam pembentukan prasangka sosial dan kesemuanya ini akan terintegrasi dalam kepribadian seseorang.
Allport, (dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang obyektif untuk membenci kelompok tersebut. Selanjutnya Kossen, (1986) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan gejala yang interen yang meminta tindakan prahukum, atau membuat keputusan-keputusan berdasarkan bukti yang tidak cukup. Dengan demikian bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan baik maka tindakan prasangka sosial tidak perlu terjadi.
Berbicara mengenai prasangka sosial sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari sikap. Sebagaimana diuraikan oleh Sherif dan Cantril, (dalam Mar’at, 1981) bahwa problematik prasangka itu sebenarnya merupakan masalah sikap secara
khusus, sehingga dalam membahas prasangka sosial tidak terlepas dari masalah sikap.
Sikap ialah suatu hal yang menentukan sifat dan hakekat perbuatan seseorang, baik perbuatan saat ini maupun dimasa yang akan datang. Menurut Newcomb et all, (1981) sikap merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai daya tarik psikologis (valensi) dan akhirnya terintegrasi dalam pola yang lebih luas. Selanjutnya Gerungan, (1988) menguraikan sikap sebagai perasaan terhadap obyek tertentu yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap tersebut.
Sikap memiliki tiga macam aspek yakni; aspek kognitif, aspek affektif, aspek konatif clan ketiga aspek ini saling berkaitan satu sama lain, (Mar’at, 1981).
1. Aspek kognitif
Sikap yang berhubungan dengan gejala mengenai pikiran. Aspek ini senantiasa dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang berdiri sendiri dan sikap interdependensi. Dalam hubungan ini kejadian-kejadian yang kongkrit dan determinant mewarnai kejadian tertentu berdasarkan dimensi kognitif.
2. Aspek Affektif
Aspek ini berwujud proses yang menyangkut perasaan- perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati dan sebagainya yang ditujukan pada obyek tertentu. Ada tiga faktor yang menjadikan seseorang berprasangka dalam hal ini yakni; perasaan, tindakan dan analisa. Dalam sikap afektif ini, ego seseorang selalu berperan dan selalu mempengaruhi ketiga faktor tersebut, sehingga terbentuklah prasangka berdimensi afektif.
3. Aspek konatif
Aspek konatif ini berwujud kecenderungan untuk berbuat sesuatu misalnya kecenderungan memberi, kecenderungan menjauhkan dan sebagainya. Komponen ini merupakan ekspresi dari komponen kognitif dan affektif. Tindakan seseorang akan dipengaruhi penalaran dan perasaannya, demikian halnya dengan prasangka sosial.
Dari uraian tersebut di atas dapat disarikan bahwa prasangka sosial merupakan sikap yang ataupun perasaan-perasaan negatif yang ditujukan kepada orang lain atau kelompok orang lain yang menjadi obyek prasangka tersebut. Prasangka sosial akan mempengaruhi tindakan seseorang dalam berbagai hal dan prasangka sosial biasanya merupakan penilaian yang tidak obyektif, dengan kata lain didasarkan pada penilaian yang tergesa-gesa.
Prasangka sosial berkaitan erat dengan komponen-komponen sikap yakni komponen kognitif, afektif, konatif. Prasangka sosial erat kaitannya dengan perasaan subyektif seseorang yang ditujukan pada orang lain atau kelompok tertentu.

2. Penyebab Timbulnya Prasangka Sosial
Menurut Blumer, (dalam Zanden, 1984) salah satu penyebab terjadinya prasangka sosial adalah; adanya perasaan berbeda dengan kelompok lain atau orang lain misalnya antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.
Berkaitan dengan kelompok mayoritas dan minoritas tersebut di atas Mar’at, (1988) menguraikan bahwa prasangka sosial banyak ditimbulkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
Kekuasaan faktual yang terlihat dalam hubungan kelompok mayoritas dan minoritas.
• Fakta akan perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan minoritas.
• Fakta mengenai kesempatan usaha antara kelompok mayoritas dan minoritas. - Fakta mengenai unsur geografik, dimana keluarga kelompok mayoritas dan minoritas menduduki daerah-daerah tertentu.
• Posisi dan peranan dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasai kelompok mayoritas.
• Potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas dalam mempertahankan hidupnya.
Prasangka sosial terhadap kelompok tertentu bukanlah suatu tanggapan yang dibawa sejak lahir tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari, (Kossen, 1986) seseorang akan belajar dari orang lain atau kelompok tertentu yang menggunakan jalan pintas mental prasangka. Jadi, seseorang memiliki prasangka terhadap orang lain karena terjadinya proses belajar.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prasangka Sosial
Proses pembentukan prasangka sosial menurut Mar’at (1981) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu;
1. Pengaruh Kepribadian
Dalam perkembangan kepribadian seseorang akan terlihat pula pembentukan prasangka sosial. Kepribadian otoriter mengarahkan seseorang membentuk suatu konsep prasangka sosial, karena ada kecenderungan orang tersebut selalu merasa curiga, berfikir dogmatis dan berpola pada diri sendiri.
2. Pendidikan dan Status
Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status yang dimilikinya akan mempengaruhi cara berfikirnya dan akan meredusir prasangka sosial.
3. Pengaruh Pendidikan Anak oleh Orangtua
Dalam hal ini orangtua memiliki nilai-nilai tradisional yang dapat dikatakan berperan sebagai famili ideologi yang akan mempengaruhi prasangka sosial.
4. Pengaruh Kelompok
Kelompok memiliki norma dan nilai tersendiri dan akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial pada kelompok tersebut. Oleh karenanya norma kelompok yang memiliki fungsi otonom dan akan banyak memberikan informasi secara realistis atau secara emosional yang mempengaruhi sistem sikap individu.
5. Pengaruh Politik dan Ekonomi
Politik dan ekonomi sering mendominir pembentukan prasangka sosial. Pengaruh politik dan ekonomi telah banyak memicu terjadinya prasangka sosial terhadap kelompok lain misalnya kelompok minoritas.
6. Pengaruh Komunikasi
Komunikasi juga memiliki peranan penting dalam memberikan informasi yang baik dan komponen sikap akan banyak dipengaruhi oleh media massa seperti radio, televisi, yang kesemuanya hal ini akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial dalam diri seseorang.
7. Pengaruh Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan suatu media dalam mengurangi atau mempertinggi pembentukan prasangka sosial.
Sehubungan dengan proses belajar sebagai sebab yang menimbulkan terjadinya prasangka sosial pada orang lain. maka dalam hal ini orang tua dianggap sebagai guru utama karena pengaruh mereka paling besar pada tahap modeling pada usia anak-anak sekaligus menanamkan perilaku prasangka sosial kepada kelompok lain. Modeling sebagai proses meniru perilaku orang lain pada usia anak-anak, maka orang tua dianggap memainkan peranan yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashmore dan DelBoka, (dalam Sears et all, 1985) yang menunjukkan bahwa orang tua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan prasangka sosial dalam diri anak. Jadi, terdapat korelasi antara sikap etnis dan rasial orang tua dengan sikap etnis dan rasial pada diri anak.
Dari uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa prasangka sosial terjadi disebabkan adanya perasaan berbeda dengan orang lain atau kelompok lain. Selain itu prasangka sosial disebabkan oleh adanya proses belajar, juga timbul disebabkan oleh adanya perasaan membenci antar individu atau kelompok misalnya antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.
Rose, (dalam Gerungan, 1991) menguraikan bahwa faktor yang mempengaruhi prasangka sosial adalah faktor kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu, yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila mereka memupuk prasangka sosial. Prasangka sosial yang demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongan-golongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri.
Prasangka sosial pada diri seseorang menurut Kossen, (1986) dipengaruhi oleh ketidaktahuan dan ketiadaan tentang obyek atau subyek yang diprasangkainya. Seseorang sering sekali menghukum atau memberi penilaian yang salah terhadap obyek atau subyek tertentu sebelum memeriksa kebenarannya, sehingga orang tersebut memberi penilaian tanpa mengetahui permasalahannya dengan jelas, atau dengan kata lain penilaian tersebut tidak didasarkan pada fakta-fakta yang cukup. Selanjutnya Gerungan, (1991) menguraikan bahwa prasangka sosial dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang diprasangkainya.

Dari uraian tersebut di atas dapat disarikan bahwa prasangka sosial yang merupakan tindakan menghukum sebelum memeriksa dengan baik yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni kurangnya pengetahuan dan pengertian seseorang yang berprasangka terhadap obyek atau subyek yang diprasangkainya, sehingga memberi penilaian tanpa didasarkan akan fakta-fakta yang sebenarnya. Selain itu faktor komunikasi, peranan kelompok, pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal juga mempengaruhi prasangka sosial dalam diri seseorang.
4. Dampak Prasangka Sosial
Prasangka sosial menurut Rose, (dalam Gerungan, 1981) dapat merugikan masyarakat secara dan umum dan organisasi khususnya. Hal ini terjadi karena prasangka sosial dapat menghambat perkembangan potensi individu secara maksimal.
Selanjutnya Steplan et all, (1978) menguraikan bahwa prasangka sosial tidak saja mempengaruhi perilaku orang dewasa tetapi juga anak-anak sehingga dapat membatasi kesempatan mereka berkembang menjadi orang yang memiliki toleransi terhadap kelompok sasaran misalnya kelompok minoritas.
Rosenbreg dan Simmons, (1971) juga menguraikan bahwa prasangka sosial akan menjadikan kelompok individu tertentu dengan kelompok individu lain berbeda kedudukannya dan menjadikan mereka tidak mau bergabung atau bersosialisasi. Apabila hal ini terjadi dalam organisasi atau perusahaan akan merusak kerjasama. Selanjutnya diuraikan prasangka sosial dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena prasangka sosial merupakann pengalaman yang kurang menyenangkan bagi kelompok yang diprasangkai tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tentang dampak prasangka sosial di atas adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka sosial dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam organisasi akan mengganggu kejasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan organisasi kurang dapat terealisir dengan baik

Cinta Kasih


MANUSIA DAN CINTA KASIH
Ekspresi cinta dapat termasuk cinta kepada 'jiwa' atau pikiran, cinta hukum dan organisasi, cinta badan, cinta alam, cinta makanan, cinta uang, cinta belajar, cinta kuasa, cinta keterkenalan, dll. Cinta kasih yang sudah ada perlu selalu dijaga agar dapat dipertahankan keindahannya. Dalam konteks itulah makalah ini kami susun yang terdiri dari dua pembhasan utama yaitu cinta antar relasi manusia dan cinta kasiah menurut agama-agama dan tak lupa sebelumnya penyusun pada awal pembahasan memulaidengan makna dan hakikat cinta kasih itu sendiri
Selanjutnya penyusun ingin menyampaikan permohonan maaf karena pada pembahasan yang kedua yaitu bagaimana hakikat cinta kasih dalam pandangan agama atau bagaimana ajaran-ajaran agama perihal cinta kasih hanya mengangkat dan membahas cinta kasih dari sudut pandang agama Islam saja penulis belum mampu untuk menghadirkan (sekaligus membndingkan) bahasan cinta kasih dari ajaran-ajaran agama , aliran, kepercayaan yang lain yang mana hal ini lebih dikarenakan sempitnya waktu untuk mengkaji bagaimana pandangan agama-agama tentang cinta kasih sementara tuntutan untuk menyelasaikan maklah ini semakin mendesak.

“Cinta lebih berarah ke konsep abstrak,
lebih mudah dialami daripada dijelaskan”.
(Ibnul Qoyyim )

”Cinta” sebuah nama yang sering dibicarakan orang, dari yang muda sampai yang tua. Banyak manusia mengatas namakan cinta untuk setiap prilakunya. Tapi apakah mereka mengerti apa makna di balik sebuah kata ”cinta”.
”Cinta” memang sebuah nama yang sangat simple dan mudah untuk diucapkan. Tapi tahu kah apa arti dari cinta tersebut. Sebuah fenomena yang luar biasa. Membuat yang sedih menjadi ceria, jahat menjadi baek, peperangan menjadi perdamaian, kebencian menjadi persaudaraan, pahit menjadi manis, luka menjadi sembuh, sakit menjadi sehat. Semua itu atas nama cinta. Dan ketika kata ”Cinta disalah gunakan maka kejadiannya juga bakal sebaliknya.
Cinta juga bisa berasal dari obsesi untuk mendapatkan sesuatu. Tapi itu bukan cinta, ia hanyalah alat untuk mendapatkan objek itu. Kata ”Cinta” mempunyai makna yang universal. Setiap insan mempunyai tanggapan sendiri tentang arti cinta. Dan setiap insan juga punya cara sendiri untuk mencintai.
Apa arti cinta itu sebenarnya? Cinta adalah sebuah ungkapan rasa sayang dan simpati kita kepada seseorang. Kata cinta juga diberikan dari kita kepada Sang Pencipta, sebagai tanda kalau kita amat membutuhkan dan menyanjungnya. Rasa cinta yang kita berikan menunjukkan bahwasanya kita sangat menyukainya dan ingin bersamanya. Kecemburuan sering terjadi jika seseorang yang kita cintai bersama oranglain. Itulah cinta, satu nama seribu makna
Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut.

“kita bisa hidup tanpa agama,
tapi kita tidak bisa bertahan lama tanpa cinta”
(Dalai Lama)

Cinta kepada sesama adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
1. Knowledge (pengenalan)
2. Responsibilty (tanggung jawab)
3. Care (perhatian)
4. Respect (saling menghormati)
Cinta berada di seluruh semua kebudayaan manusia. Oleh karena perbedaan kebudayaan ini, maka pendefinisian dari cinta pun sulit ditetapkan..
skPara pakar telah mendefinisikan dan memilah-milah istilah ini yang pengertiannya sangat rumit. Antara lain mereka membedakan cinta terhadap sesama manusia dan yang terkait dengannya menkadi:
1. Cinta terhadap keluarga
2. Cinta terhadap teman-teman, atau philia
3. Cinta yang romantis atau juga disebut asmara
4. Cinta yang hanya merupakan hawa nafsu atau cinta eros
5. Cinta sesama atau juga disebut kasih sayang atau agape
6. Cinta dirinya sendiri, yang disebut narsisme
7. Cinta akan sebuah konsep tertentu
8. Cinta akan negaranya atau patriotisme
9. Cinta akan bangsa atau nasionalisme
Cinta antar pribadi manusia menunjuk kepada cinta antara manusia mempunyai beberapa undur yang sering ada dalam cinta antar pribadi tersebut yaitu
 Afeksi: menghargai orang lain
 Ikatan: memuaskan kebutuhan emosi dasar
 Altruisme: perhatian non-egois kepada orang lain
 Reciprocation: cinta yang saling menguntungkan
 Commitment: keinginan untuk mengabadikan cinta
 Keintiman emosional: berbagia emosi dan rasa
 Kinship: ikatan keluarga
 Passion: nafsu seksual
 Physical intimacy: berbagi kehidupan erat satu sama lain
 Self-interest: cinta yang mengharapkan imbalan pribadi
 Service: keinginan untuk membantu

Masalah Sosial

Bahwa sejak manusia mulai hidup bermasyarakat, maka sejak saat itu sebuah gejala yang disebut masalah sosial berkutat didalamnya. Sebagaimana diketahui, dalam realitas sosial memang tidak pernah dijumpai suatu kondisi masyarakat yang ideal. Dalam pengertian tidak pernah dijumpai kondisi yang menggambarkan bahwa seluruh kebutuhan setiap warga masyarakat terpenuhi, seluruh prilaku kehidupan sosial sesuai harapan atau seluruh warga masyarakat dan komponen sistem sosial mampu menyesuaikan dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Dengan kata lain das sein selalu tidak sesuai das sollen.
Pada jalur yang searah, sejak tumbuhnya ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai obyek studi kehidupan masyarakat, maka sejak itu pula studi masalah sosial mulai dilakukan. Dari masa ke masa para sosiolog mengumpulkan dan mengkomparasikan hasil studi melalui beragam perspektif dan fokus perhatian yang berbeda-beda, hingga pada akhirnya semakin memperlebar jalan untuk memperoleh pandangan yang komprehensif serta wawasan yang luas dalam memahami dan menjelaskan fenomena sosial.
Buku ini hadir dengan fokus studi masalah sosial yang sekaligus memuat referensi dan rekomendasi bagi tindakan untuk melakukan penanganan masalah. Di negara-negara berkembang, tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam rangka penanganan masalah sosial menjadi perhatian yang sangat serius demi kelangsungan serta kemajuan bangsanya menuju cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan. Terkait hal itu, pembahasan mengenai berbagai perspektif sosial, identifikasi melalui serangkaian unit analisis serta pemecahan masalah yang berbasis negara dan masyarakat menjadi tema-tema yang diulas secara teoritis dalam buku ini.
Sumber Masalah
Masalah sosial menemui pengertiaannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang telah disepakati. Keberadaan masalah sosial ditengah kehidupan masyarakat dapat diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan analitis, yang salah satunya berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah sosial diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca aspek masalah secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person blame approach dan system blame approach (hlm. 153).
Person blame approach merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada level individu. Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Sumber masalah sosial dilihat dari faktor-faktor yang melekat pada individu yang menyandang masalah. Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya yang mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya.
Sedang pendekatan kedua system blame approach merupakan unit analisis untuk memahami sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan struktur sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Selaras dengan itu, masalah sosial terjadi oleh karena sistem yang berlaku didalamnya kurang mampu dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk penyesuaian antar komponen dan unsur dalam sistem itu sendiri.
Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui, bahwa sumber masalah dapat ditelusuri dari ”kesalahan" individu dan "kesalahan" sistem. Mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut akan sangat berguna dalam rangka melacak akar masalah untuk kemudian dicarikan pemecahannya. Untuk mendiagnosis masalah pengangguran misalnya, secara lebih komprehensif tidak cukup dilihat dari faktor yang melekat pada diri penganggur saja seperti kurang inovatif atau malas mencari peluang, akan tetapi juga perlu dilihat sumbernya masalahnya dari level sistem baik sistem pendidikan, sistem produksi dan sistem perokonomian atau bahkan sistem sosial politik pada tingkat yang lebih luas.
Masyarakat Dan Negara
Parillo menyatakan, kenyataan paling mendasar dalam kehidupan sosial adalah bahwa masyarakat terbentuk dalam suatu bangunan struktur. Melalui bangunan struktural tertentu maka dimungkinkan beberapa individu mempunyai kekuasaan, kesempatan dan peluang yang lebih baik dari individu yang lain (hlm. 191). Dari hal tersebut dapat dimengerti apabila kalangan tertentu dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dari kondisi sosial yang ada sekaligus memungkinkan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan, sementara dipihak lain masih banyak yang kekurangan.
Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dalam konteks tersebut, upaya pemecahan sosial dapat dibedakan antara upaya pemecahan berbasis negara dan berbasis masyarakat. Negara merupakan pihak yang sepatutnya responsif terhadap keberadaan masalah sosial. Perwujudan kesejahteraan setiap warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan negara. Di lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah sosial jika menghendaki kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik.
Salah satu bentuk rumusan tindakan negara untuk memecahkan masalah sosial adalah melalui kebijakan sosial. Suatu kebijakan akan dapat dirumuskan dengan baik apabila didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Apabila studi masalah sosial dapat memberikan informasi yang lengkap dan akurat maka bararti telah memberikan kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial yang baik, sehingga bila diimplementasikan akan mampu menghasilkan pemecahan masalah yang efektif.
Upaya pemecahan sosial sebagai muara penanganan sosial juga dapat berupa suatu tindakan bersama oleh masyarakat untuk mewujudkan suatu perubahan yang sesuai yang diharapkan. Dalam teorinya Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif. Tindakan kolektif dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.
Kebermaknaan suatu studi termasuk studi masalah sosial disamping ditentukan oleh wawasan teoritik dalam menjelaskan gejala dan alur penalaran dari berbagai proposisi yang dihasilkan, juga sangat ditentukan oleh bagaimana studi itu dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.


Definisi/Pengertian Masalah Sosial dan Jenis/Macam Masalah Sosial Dalam Masyarakat

Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.



sumber:
http://organisasi.org/definisi-pengertian-masalah-sosial-dan-jenis-macam-masalah-sosial-dalam-masyarakat